Minggu, 30 Desember 2012

Imam al-Qurthubi Dalam Kitab Tafsir-nya; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH (Menohok Ajaran Sesat Wahabi)

oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada 16 Desember 2012 pukul 7:12 ·
Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi, menuliskan sebagai berikut:

"و"العليّ" يراد به علو القدر والمنزلة لا علو المكان، لأن الله منزه عن التحيز"
“Nama Allah “al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah maha suci dari bertempat”[1].

Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

"ومعنى"فَوْقَ عِبَادِهِ" فوقية الاستعلاء بالقهر والغلبة عليهم، أي هم تحت تسخيره لا فوقية مكان"
“Makna Firman-Nya: “Fawqa ‘Ibâdih...” (QS. al-An’am: 18), adalah dalam pengertian Fawqiyyah al-Istîlâ’ Bi al-Qahr Wa al-Ghalabah; artinya bahwa para hamba berada dalam kekuasaan-Nya, bukan dalam pengertian fawqiyyah al-makan, (tempat yang tinggi)”[2].

Masih dalam kitabnya yang sama al-Imâm al-Qurthubi juga menuliskan sebagai berikut:

"والقاعدة تنزيهه- سبحانه وتعالى- عن الحركة والانتقال وشغل الأمكنة"
“Kaedah -yang harus kita pegang teguh-: Allah maha suci dari gerak, berpindah-pindah, dan maha suci dari berada pada tempat”[3].

Lalu dalam menafsirkan firman Allah:

أَوْ  يَأْتِيَ  رَبُّكَ  أَوْ  يَأْتِي  بَعْضُ  ءَايَاتِ  رَبِّكَ (الأنعام: 158) 
     
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

"وليس مجيئه تعالى حركة ولا انتقالا ولا زوالا لأن ذلك إنما يكون إذا كان الجائي جسما أو جوهرا"
“Yang dimaksud dengan al-Majî’ pada hak Allah adalah bukan dalam pengertian gerak, bukan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan pula dalam pengertian condong, karena sifat-sifat seperti demikian itu hanya terjadi pada sesuatu yang merupakan Jism atau Jawhar”[4].

Pada bagian lain dalam menafsirkan firman Allah tentang Nabi Yunus:

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لآإِلَهَ إِلآ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (الأنبياء: 87)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

"وقال أبو المعالي: قوله صلى الله عليه وسلم "لا تفضلوني على يونس بن متّى " المعنى فإني لم أكن وأنا في سدرة المنتهى بأقرب إلى الله منه وهو في قعر البحر في بطن الحوت. وهذا يدل على أن البارىء سبحانه وتعالى ليس في جهة"
“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi “Lâ Tufadl-dlilûnî ‘Alâ Yûnus Ibn Mattâ” memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”[5].

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

وَجَآءَ   رَبُّكَ   وَالْمَلَكُ   صَفًّا   صَفًّا  (الفجر: 22)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

"والله جل ثناؤه لا يوصف بالتحول من مكان إلى مكان، وأنَّى له التحول والانتقال ولا مكان له ولا أوان، ولا يجري عليه وقت ولا زمان، لأن في جريان الوقت على الشىء فوت الأوقات، ومن فاته شىء فهو عاجز"
“Allah yang maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, karena mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk”[6].

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (الملك: 16)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

"والمراد بها توقيره وتنزيهه عن السفل والتحت، ووصفه بالعلوِّ والعظمة لا بالأماكن والجهات والحدود لأنها صفات الأجسام. وإنما ترفع الأيدي بالدعاء إلى السماء لأن السماء مهبط الوحي ومنزل القطر ومحل القُدس ومعدن المطهرين من الملائكة، واليها ترفع أعمال العباد، وفوقها عرشه وجنته، كما جعل الله الكعبة قِبلة للدعاء والصلاة، ولأنه خلق الأمكنة وهو غير محتاج إليها، وكان في أزله قبل خلق المكان والزمان ولا مكان له ولا زمان، وهو الآن على ما عليه كان"
“Yang dimaksud oleh ayat ini adalah keagungan Allah dan kesucian-Nya dari arah bawah. Dan makna dari sifat Allah al-‘Uluww adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan bukan dalam pengertian tempat-tempat, atau arah-arah, juga bukan dalam pengertian batasan-batasan, karena sifat-sifat seperti demikian itu adalah sifat-sifat benda. Adapun bahwa kita mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa adalah karena langit tempat turunnya wahyu, tempat turunnya hujan, tempat yang dimuliakan, juga tempat para Malaikat yang suci, serta ke sanalah segala kebaikan para hamba diangkat, hingga ke arah arsy dan ke arah surga. Hal ini sebagaimana Allah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dalam doa dan shalat kita (bukan artinya Allah di dalam Ka’bah). Karena sesungguhnya Allah yang menciptakan segala tempat maka Dia tidak membutuhkan kepada ciptaannya tersebut. Sebelum menciptakan tempat dan zaman, Allah ada tanpa permulaan (Azaliy), tanpa tempat, dan tanpa zaman. Dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat dan zaman tetap ada sebagaimana sifat-Nya yang Azaliy tanpa tempat dan tanpa zaman”[7].

Referensi

[1] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 278, QS. al-Baqarah: 255
[2] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 6, h. 399, QS. al-An’am: 18
[3] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 6, h. 390, QS. al-An’am: 3
[4] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 7, h. 148, QS. al-An’am: 158
[5] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 11, h. 333-334, QS. al-Anbiya’: 87
[6] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 20, h. 55, QS. al-Fajr: 22
[7] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 18, h. 216, QS. al-Mulk: 16


Sabtu, 29 Desember 2012

Masjid Nabawi madina al munawwaroh


Rabiah al-Adawiyyah: Puisi Zuhud dan Ajarannya

Banyak Ajaran sufi yang diriwayatkan berasal dari Rabiah al-Adawiyyah, yang seterusnya menjadi perbincangan para sufi setelahnya. Rabiah al-Adawiyyah berkata pula : ” Amalan yang timbul dari diriku tidak berarti bagiku”. Dalam al-Bayan wa al-Tabyin, suatu ketika ditanya Rabiah al-Adawiyyah : ” Apakah suatu amal yang kau lakukan itu dipandang diterima?” Jawabnya: “Seandainya amal itu ada artinya justru aku takut itu dikembalikan padaku. Mengenai riya, Rabiah al-Adawiyyah berkata: “Sembunyikan kebaikan-kebaikanmu, sebagaimana kau sembunyikan keburukan-keburukanmu.”
Ibn Abi al-Hadid dalam Syarkh Nahj al-Balaghah meriwayatkan bahwa Rabiah berkata:    “Jika seseorang memberi saran karena Allah, maka Allah akan menyingkapkan untuknya keburukan-keburukan amalnya, sehingga membuatnya tersibukkan daripada mengingat keburukan makhluk -makhluk-Nya.”
Dalam Risalah al-Qusyairiyyah, Rabiah al-Adawiyyah berdo’a:
 ” Tuhanku, akan terbakarkah oleh api neraka kalbu yang mencintai-Mu?” Tiba-tiba dia mendengar suara: “Kami tidak sama sekali melakukan itu. Janganlah kau buruk sangka kepada Kami.”
Menurut Rabiah al-Adawiyyah , kepatuhannya kepada Allah bukanlah tujuannya, sebab dia tidak mengharapkan nikmat surga dan tidak takut azab neraka, tetapi dia mematuhi-Nya karena cinta kepada-Nya. Seperti ungkapannya berikut:
Dalam batin kepada-Nya kau durhaka, tapi
 Dalam lahir kaunyatakan cinta suci
Sungguh, aneh sangat gejala ini
Andaikan cintamu memang tulus dan sejati
Yang Dia perintahkan tentu kau taati
Sebab, pecinta pada Yang Dicintai patuh dan bakti.
Ketika Sufyan al-Tsauri bertanya kepada Rabiah al-Adawiyyah : ” Setiap keyakinan mempunyai syarat, dan setiap kenyakinan mempunyai realitas. Bagaimanakah realitas keimananmu?  Rabiah menjawab. Aku tidak menyembahnya karena takut neraka-Nya, dan bukan karena cinta surga-Nya, sepertinya aku ini hanya pekerja kasar yang bekerja karena upah saja. Tapi aku menyembahnya karena aku cinta kepada-Nya.
Doa Munajat Rabiah al-Adawiyyah :
Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam-Mu. Dan sekiranya aku beribadah kepada-Mu, karena mengharap surga-Mu, jauhkanlah aku darinya. Tapi sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang Abadi.”

Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu,
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku,
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu,
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku,
dalam  puisinya yang lain diungkapkan juga:
Aku cinta Kau dua model cinta,
Cinta rindu, dan cinta karena Kau layak dicinta,
Adapun cinta rindu,
karena hanya Kau kukenang selalu bukan selain-Mu,
Adapun cinta karena Kau layak dicinta, karena Kau singkapkan tirai sampai Kau nyata bagiku.
Bagiku cinta ini-itu tidak ada puji.
Namun bagi-Mu Sendiri sekalian puji.

Jumat, 28 Desember 2012

Tingkatan Keimanan Dalam Tasawuf

Tingkat Keimaman dalam Tasawuf

Silakan di Share agar lebih banyak orang yang ikut membaca:
Pada dasarnya, ajaran Tasawuf merupakan bimbingan jiwa agar menjadi suci, selalu tertambat pada Allah dan Tasawuf  menjauhkan dari pengaruh-pengaruh selain Allah. Kemudian dengan Tasawuf  maka terbukalah hijab yang menutupinya.
Tingkatan  keimanan dalam tasawuf, yang meliputi:
  1. Maqom Taubat ( arabic: التوبة ), yaitu meninggalkan dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosa yang pernah dilakukan demi menjunjung ajaran Allah dan menyingkiri murka-Nya ( Imam al- Ghozali).
  2. Maqom Waro’, menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu, dalam rangka menjunjung tinggi perintah Allah, menurut Syaikh Ibrahim Adham.  Waro’ adalah meninggalkan setiap yang syubhat (tidak jelas halal atau haramnya),  Waro’ Lahiriyah: meninggalkan seluruh perbuatan kecuali  perbuatan yang karena Allah,  Waro’ Batiniyah: sikap hati yang tidak menerima selain Allah
  3. Maqom Zuhud ( زاهد ), lepasnya pandangan keduniawian dan usaha memperoleh keduniawian dari seorang yang sebenarnya mampu untuk memperolehnya.
  4. Maqom Shobar ( الصبر ), ketabahan dalam menghadapi dorongan hawa nafsu (Imam al-Ghozali), Syaikh Dzun Nun al-Misri mengatakan: Shobar adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama, tabah dan tenang dalam menghadapi cobaan, dan menampakkan hidup lapang dalam mengalami kemelaratan.
  5. Maqom Faqir ( فقير ), Tenang dan tabah diwaktu susah dan memprioritaskan orang lain di kala sedang  berada ( Syaikh Abu Hasan al-Nuruy).  Syaikh Ibrohim al-Khawwash, mengatakan Faqir adalah selendang orang-orang mulia, pakaian para Rosul dan baju kurung kaum Sholikhah.
  6. Maqom Syukur ( شكر ), pengakuan terhadap kenikmatan, tindakan badan untuk mengabdi kepada Allah dan ketetapan hati untuk selalu menyingkiri yang haram, Syaikh Abul Qasim mengatakan, “Hakikat syukur adalah tidak menggunakan kenikmatan untuk maksiat, tidak segan-segan menggunakannya untuk taat sedang batasan syukur adalah mengetahui bahwa kenikmatan itu datangnya dari Allah Ta’ala.
  7. Maqom Khauf, Rasa ketakutan dalam menghadapi siksa Allah atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah, Syaik Abul Hasan al-Nury, berpendapat “orang yang Khauf adalah yang lari dalam ketakutan dari Allah untuk menuju kepada Allah”.
  8. Maqom Roja’, Rasa gembira hati karena mengetahui adanya kemurahan dari dzat yang menjadi tumpuan harapannya, Syaikh Abu Ali, berkata: “Khauf dan Roja’ adalah ibarat dua belah sayap burung, jika seimbang keduanya, maka terbang nya burung menjadi sempurna, jika kurang salah satunya, maka terbangnya tidak sempurna, dan jika hilang keduanya, maka burung jatuh dan menemui kematiannya.
  9. Maqom Tawakal, sikap hati yang bergantung pada Allah dalam menghadapi sesuatu yang disukai, dibenci, diharapkan atau ditakuti kalau terjadi dan bukan menggantungkannya pada suatu sebab, sebab satu-satunya adalah Allah(al-Muhasibi). Syaikh Sahl berpendapat, “Jenjang pertama kali dalam Tawakal adalah hendaknya hamba dihadapan Allah bersikap sebagaimana mayat dihadapan orangyang merawatnya, dibalik kesana kemari diam saja.”
  10. Maqom Ridho, Rasa puas hati dalam menerima nasib yang pahit (Abul Hassan al-Nuri), Rabi’ah Adawiyah menjelaskan, sewaktu ditanya bagaimana seorang hamba bisa dikatakan Ridlo, Jawabnya: “Apabila ia senang dalam menghadapi musibah sebagaimana ia senang dalam menerima nikmat. Syaikh Yahya bin Mu’arif, ketika ditanya, “Kapan seorang mencapai Maqom Ridho?” beliau menjawab: “Jika diberi mau menerima, jika ditolak ia rela, jika ditinggalkan ia tetap mengabdi dan jika diajak ia menuruti.”
secara teori tingkatan di awali dari nomer 1 berurutan sampai nomer 10, akan tetapi bisa juga ketika seseorang mengalami loncatan dari nomer 1 langsung ke no 10, dengan bimbingan seorang mursyid dan atas kehendak Allah swt. dalam tasawuf  semua bisa terjadi..